selain fitnah-fitnah sektarian abal-abal dan penuh dusta, salah satu isu paling ‘hot’ yang selalu dijadikan bara api untuk mengobarkan sentimen fanatisme madzhab umat Islam adalah isu khilafah/imamah (kepemimpinan). khilafah sebagaimana yg diyakini Muslimin Sunni, dan imamah sebagaimana yang diyakini oleh Muslimin Syi’ah. keduanya hampir selalu diidentikkan bagai air dan minyak, selalu berseteru tak ada damai. tapi benarkah demikian?
bagi yang tak alergi dengan kritisme dan bebas dari belenggu fanatisme, ulasan di bawah ini mungkin bisa menemukan jalan keluarnya:
pertama kita harus membedakan konsep kepemimpinan dalam Syi’ah, dan konsep kepemimpinan dalam Sunni. kepemimpinan dalam Syi’ah adalah jenis kepemimpinan transenden (divine), karena itu kemaksuman (kesucian dari dosa) adalah syarat mutlak yang tak bisa ditawar. kepemimpinan dalam non Syi’ah (Sunni) adalah jenis kepemimpinan profan (administratif), karena itu bisa dipahami tak perlu harus maksum untuk menjadi pemimpin dalam pandangan non Syi’ah. karena itu, mempertentangkan dan memperdebatkan dua jenis kepemimpinan yang sejak awal memiliki basis yang berbeda ini jelas sia-sia alias salah kamar. dan jelas, hanya orang-orang kurang wawasan yang mau terus terjebak dalam kubangan lumpur konflik ini…
sejak awal, kepemimpinan Ali (dan Ahlulbait) dalam pandangan Syi’ah adalah kepemimpinan transenden. duduk atau berdiri mereka tetaplah Imam. diakui atau tidak, diikuti atau tidak oleh umat, mereka tetaplah pemimpin transenden/ilahiah yg mendapatkan legitimasi ketuhanan (divine legitimate). dan karena itu pula bisa dipahami menurut Syi’ah, kemaksuman adalah syarat mutlak yang tak bisa ditawar. sementara kepemimpinan (kekhalifahan) non Syi’ah adalah jenis kepemimpinan administratif, yang karenanya meniscayakan akseptabilitas publik, walau tanpa legitimasi transenden. basisnya adalah mayoritas publik menerimanya. karena itu bisa dipahami mereka tidak mensyaratkan kemaksuman untuk menjadi seorang pemimpin.
secara faktual, antara legitimasi transenden dan akseptabilitas publik, posisinya bisa saling beririsan, bisa juga terpisah satu sama lain. dalam sejarah Islam sendiri, bisa dihitung dengan jari mereka yang bisa menggabungkan antara legitimasi transenden (ilahiah) dengan akseptabilitas publik, semisal Nabi Sulaiman as, Nabi Daud as, dan Nabi Muhammad Saw. karena itu membabi-buta dan memaksa mempertentangkan keduanya dalam posisi berhadap-hadapan vis a vis, tetapi menutup mata pada fakta bahwa keduanya berdiri dalam basis yg berbeda hanya akan buang energi percuma dan sia-sia alias salah kamar. memang sejak awal keduanya tidak nyambung. beda spek, beda folder, dan tidak berada di ruang yang sama. yg satu basisnya adalah ‘divine’ (ilahiah), satunya berbasis ‘profan’ (humanis).
ironisnya, umat Islam berabad-abad lamanya terus saja terjebak (atau sengaja dijebak…?) dalam kumparan lumpur konflik ketidaknyambungan ini. bukankah sudah saatnya kita akhiri ini semua…???
just imho, tentu saja…
silahkan jika ingin berkomentar. : )