Gadis Berbaju Putih, Gadis Berbaju Merah (2)

didampingi sang bidadari
pemuda itu langkahkan kaki
menuju tepian telaga
di situ sang gadis
seduhkan hangat-hangat
tiga cangkir teh 

“umm…, hei…” si pemuda garuk-garuk kepala. “lama tak jumpa…”
“hmm…” gadis berbaju merah itu melirik tajam. masih mengaduk pelan teh di cangkirnya. “kau yang tidak mau menemuiku, bukan?”
“ah-haha…, tidak begitu lah…” si pemuda nyengir
“oh?”
“mana ada pemuda tak mau bersua gadis jelita, kan?”
“hmh…”

gadis berbaju merah lengoskan wajah
rambut hitam sepundaknya jatuh
menjuntai di ranum pipinya Continue reading

0.5

di tepi telaga
di hamparan hijau rerumputan
teh hangat tlah diseduh
sang gadis duduk bersimpuh

hitam rambutnya
bajunya semerah senja
matanya setajam Kartika
arungi permukaan telaga

O, apa yang kau tunggu,
pemuda?

tidakkah kau lihat
hangat teh hampir menguap?
dan malam makin mendekat?

-010514-

Filsafat vs Irfan

sufi1

Filsafat memberikan kata, sedangkan irfan memberikan diam.

Dalam filsafat, akal memberikan sayap tuk terbang, dengan irfan, akal diberikan sayap ‘tuk terbang.

Filsafat itu cahaya sedangkan irfan adalah api.

Filsafat adalah pelajaran dan irfan di dalam qalbu.

Dengan filsafat qalbumu tenang, dengan irfan qalbumu bertemu.

Filsafat senantiasa mencari Tuhan dan irfan senantiasa menginginkan Tuhan.

Filsafat akan menarik Anda kepada Tuhan, dan irfan akan mengantarkan Anda kepada Tuhan.

Filsafat itu jalan dan irfan itu tujuan.

Filsafat itu pohon dan irfan itu buah

Filsafat adalah keagungan dan irfan adalah kefakiran.

Filsafat adalah di mana? Dan irfan adalah (ke) mana?

(Allamah Hasan Zadeh Amuli)

Bisakah Mendamaikan Isu Kepemimpinan Sunni & Syi’ah…?

images41selain fitnah-fitnah sektarian abal-abal dan penuh dusta, salah satu isu paling ‘hot’ yang selalu dijadikan bara api untuk mengobarkan sentimen fanatisme madzhab umat Islam adalah isu khilafah/imamah (kepemimpinan). khilafah sebagaimana yg diyakini Muslimin Sunni, dan imamah sebagaimana yang diyakini oleh Muslimin Syi’ah. keduanya hampir selalu diidentikkan bagai air dan minyak, selalu berseteru tak ada damai. tapi benarkah demikian?

bagi yang tak alergi dengan kritisme dan bebas dari belenggu fanatisme, ulasan di bawah ini mungkin bisa menemukan jalan keluarnya:

pertama kita harus membedakan konsep  kepemimpinan dalam Syi’ah, dan konsep kepemimpinan dalam Sunni. kepemimpinan dalam Syi’ah adalah jenis kepemimpinan transenden (divine), karena itu kemaksuman (kesucian dari dosa) adalah syarat mutlak yang tak bisa ditawar. kepemimpinan dalam non Syi’ah (Sunni) adalah jenis kepemimpinan profan (administratif), karena itu bisa dipahami tak perlu harus maksum untuk menjadi pemimpin dalam pandangan non Syi’ah. karena itu, mempertentangkan dan memperdebatkan dua jenis kepemimpinan yang sejak awal memiliki basis yang berbeda ini jelas sia-sia alias salah kamar. dan jelas, hanya orang-orang kurang wawasan yang mau terus terjebak dalam kubangan lumpur konflik ini…

sejak awal, kepemimpinan Ali (dan Ahlulbait) dalam pandangan Syi’ah adalah kepemimpinan transenden. duduk atau berdiri mereka tetaplah Imam. diakui atau tidak, diikuti atau tidak oleh umat, mereka tetaplah pemimpin transenden/ilahiah yg mendapatkan legitimasi ketuhanan (divine legitimate). dan karena itu pula bisa dipahami menurut Syi’ah, kemaksuman adalah syarat mutlak yang tak bisa ditawar. sementara kepemimpinan (kekhalifahan) non Syi’ah adalah jenis kepemimpinan administratif, yang karenanya meniscayakan akseptabilitas publik, walau tanpa legitimasi transenden. basisnya adalah mayoritas publik menerimanya. karena itu bisa dipahami mereka tidak mensyaratkan kemaksuman untuk menjadi seorang pemimpin.

secara faktual, antara legitimasi transenden dan akseptabilitas publik, posisinya bisa saling beririsan, bisa juga terpisah satu sama lain. dalam sejarah Islam sendiri, bisa dihitung dengan jari mereka yang bisa menggabungkan antara legitimasi transenden (ilahiah) dengan akseptabilitas publik, semisal Nabi Sulaiman as, Nabi Daud as, dan Nabi Muhammad Saw. karena itu membabi-buta dan memaksa mempertentangkan keduanya dalam posisi berhadap-hadapan vis a vis, tetapi menutup mata pada fakta bahwa keduanya berdiri dalam basis yg berbeda hanya akan buang energi percuma dan sia-sia alias salah kamar. memang sejak awal keduanya tidak nyambung. beda spek, beda folder, dan tidak berada di ruang yang sama. yg satu basisnya adalah ‘divine’ (ilahiah), satunya berbasis ‘profan’ (humanis).

ironisnya, umat Islam berabad-abad lamanya terus saja terjebak (atau sengaja dijebak…?) dalam kumparan lumpur konflik ketidaknyambungan ini. bukankah sudah saatnya kita akhiri ini semua…???

just imho, tentu saja…
silahkan jika ingin berkomentar. : )

KEINDAHAN ISLAM YANG DINODAI…

butterfly-beautiful-wallpaper_1680x1050_87009Keindahan tak melulu hanya melulu penampilan dan rupa yang cantik. Deretan huruf dan rangkaian kata juga merupakan jenis keindahan yang mampu menghadirkan ‘sense of beauty’ yang menyejukkan dan mampu menyihir pembacanya ke alam lain. Kita mengenal para sastrawan dan penyair-penyair seperti Rumi, Hafidz, Gibran, dan banyak lagi sastrawan lainnya telah menghipnotis banyak orang di berbagai belahan dunia dengan rerangkai indah kata-katanya.

Dalam Islam pun, ada banyak sekali kata-kata yang indah, menyejukkan, dan memiliki makna yang sangat dalam. Sebagai Muslimin, kita tentu akrab dengan kata-kata seperti ‘sunnah’, ‘rahmah’, ‘salaf’, ‘ikhlas’, ‘jihad’, ‘dakwah’, ‘sahabat’, dan lainnya yang awalnya selalu kita asosiasikan dalam bentuknya yang indah, penuh berkah, menyejukkan, dan sakral. Tapi dewasa ini, ironisnya kata-kata yang mestinya indah itu mengalami peyoratifisasi dengan kecepatan yang sangat patut ditangisi… Continue reading

Sanad Hadis Al-Ghadir Menurut ulama-ulama besar SYIAH & SUNNI

ghadir kumTidak ada satu hadis pun di kalangan muslimin yang memiliki riwayat semutawatir yang dimiliki oleh hadis al-Ghadir, dan peristiwa yang terjadi berkenaan dengannya. Sanad hadis al-Ghadir sudah tentu sampai pada batas mutawatir dan dalam jumlah yang sangat banyak.

Puluhan jilid buku telah ditulis hanya demi menjelaskan sanad hadis al-Ghadir. Khothbah al-Ghadir dan peristiwa penting ini dalam sejarah Islam memiliki seratus dua puluh ribu saksi dan pendengar, dan setiap orang dari mereka, menukil peristiwa tersebut dalam jumlah yang layak diperhatikan. Dengan adanya tekanan dan ancaman dari pihak penguasa waktu itu, mereka masih tetap menukil bagian-bagian penting dari khotbah tersebut. Para ilmuwan, tokoh politik, dan sejarah Islam, sering kali dalam berbagai kesempatan, memaparkan peristiwa tersebut dan menjadikannya sandaran.[islamalternatif.net] Continue reading